Sabtu, 14 November 2009

Kenali Gejala DEPRESI

disadari penderitanya. Mereka umumnya datang ke dokter dengan keluhan kelelahan, insomnia, nyeri, gejala sakit maag
atau gejala fisik lainnya. Depresi merupakan fluktuasi emosi yang bersifat dinamik, mengikuti suasana perasaan internal
dan eksternal individu. Data Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan, pada tahun 2020 depresi akan jadi beban global
sebagai penyakit kedua di dunia setelah jantung iskemik. Prevalensi depresi diperkirakan 5 persen hingga 10 persen per
tahun, sedangkan prevalensi depresi pada wanita dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan pria. Penderita depresi
umumnya memiliki gejala klinis berupa kehilangan minat, menarik diri dari aktivitas sehari-hari, pemurung, kelelahan,
nafsu makan hilang atau malah berlebihan, sulit konsentrasi, ingin bunuh diri. Penderita juga mudah tersinggung,
merasa bersalah, tak berharga, dan pesimistis. Sebanyak 50 persen hingga 69 persen pasien depresi mengeluhkan
gejala somatik, seperti pusing, mual, keluhan lambung, saluran napas, dan nyeri tak jelas sumbernya. Karena itu, perlu
diwaspadai gejala-gejala depresi seperti fatique / kelelahan, insomnia / kesulitan tidur, sesak napas, nyeri punggung,
diare, dan sakit kepala. Pasien juga bisa menderita nyeri dada, gangguan seksual, nyeri pinggang, dan gangguan sistem
saraf otonom. Gejala depresi dapat memburuk, mengganggu perilaku sehari-hari, dan muncul bersama penyakit lain.
Penyakit fisik yang menyertai depresi itu, antara lain, penyakit paru kronik, gangguan neurologik, gangguan pencernaan,
kanker, pascastroke, diabetes mellitus, jantung koroner, dan parkinson. Depresi dan penyakit fisik ini muncul bersamaan,
tetapi sebagai penyakit yang tidak ada hubungannya sama sekali. Depresi muncul dua sampai sepuluh kali lebih tinggi
pada keturunan pertama dibandingkan kontrol normal, dan pada keturunan kedua menurun tajam. Depresi juga bisa
terjadi pada saudara kandung maupun saudara kembar. Faktor biologis pemicu depresi adalah serotonin, norepinephrin,
dan dopamine. Tekanan lingkungan bisa memicu depresi kepada seseorang, seperti putus cinta, pola asuh penuh
keharusan, terisolasi dari pergaulan sosial, perubahan hidup yang besar, dan kesulitan keuangan. Depresi mudah
menyerang orang dengan kepribadian mudah khawatir, harga diri kurang, sensitif, mengkritik diri sendiri, pemalu, tidak
asertif, dan perfeksionis. Pada perempuan, faktor hormonal ikut mendorong terjadinya depresi. Hal ini umumnya terjadi
saat siklus haid, kehamilan atau pasca persalinan, dan menjelang menopause. Kaum perempuan di perkotaan rentan
terkena depresi dibandingkan dengan pria karena menanggung beban ganda. Mereka harus bekerja dan dituntut dapat
mengurus rumah tangga dengan baik. Pengobatan Banyak penderita depresi kurang mendapat pengobatan. Sebab,
pasien umumnya kurang mengenali gejala depresi, perhatian penyakit cenderung pada keluhan somatik atau fisik,
kurang paham akibat buruk depresi yang tidak diobati, terbatasnya pelayanan kesehatan, dan adanya stigma.
Sementara tenaga kesehatan kurang mendapat pengetahuan tentang depresi dan pengobatannya, kurang menguasai
keterampilan interpersonal menghadapi gangguan emosi, sulit mendiagnosis depresi. Sistem penggantian asuransi
untuk gangguan mental masih belum berjalan dengan baik. Ada sejumlah pilihan terapi bagi penderita, yakni
farmakoterapi, psikoterapi, atau konseling dan electroconvulsive therapy (ECT). Farmakoterapi kadang kurang efektif
sebab 52 persen dari dokter umum memakai dosis lebih rendah dari yang dianjurkan. Sekitar 40 persen dari dokter
umum dan tujuh persen dari psikiater meresepkan dalam jangka waktu lebih pendek dari rekomendasi periode terapi
berkelanjutan minimum. Terapi rumatan dengan menggunakan obat antidepresi bisa mengurangi mengurangi risiko
kambuhnya gangguan depresi. Hal ini harus disertai dengan terapi berkelanjutan dengan antidepresan untuk
mengurangi kemungkinan kekambuhan hingga 70 persen dibandingkan penderita yang menghentikan pemberian
obatnya. Obat antidepresan dinilai efektif karena bekerja lebih baik dan cepat daripada nonpsikofarmaka. Syaratnya,
pengobatan harus dipatuhi dengan ketat. Kesalahan yang lazim terjadi adalah tidak memantau hasil pengobatan, efek
samping dan ketaatan berobat, dosis tidak cukup, terlalu cepat menghentikan, dan tidak memberi edukasi kepada
pasien dan keluarganya," ujar Danardi. Bagi pasien depresi yang resistan terhadap pengobatan yang standar dan terapi
kejut, dalam majalah Newsweek disebutkan kini ada metode non-invasif bernama repetitive transcranial magnetic
stimulation (RTMS). Terapi ini merupakan metode non invasif untuk membangkitkan sel-sel saraf pada otak dengan
cepat melalui gelombang elektromagnetik yang lemah. RTMS juga merupakan alat untuk meneliti bagaimana fungsi
otak. Dalam suatu studi baru-baru ini, 45 persen dari pasien yang diberi RTMS mengalami keringanan sedikitnya
separuh dari gejala depresi, sementara 31 persen pasien benar-benar hilang gejala depresinya setelah sembilan minggu
menjalani RTMS. Sejauh ini, RTMS siap digunakan di Kanada, Australia, Selandia Baru, Israel, dan Uni Eropa. Pada
awal tahun 2007, Pemerintah Amerika Serikat kemungkinan mengeluarkan aturan tentang RTMS sebagai penanganan
depresi. Namun, penggunaan RTMS ini butuh penelitian lebih lanjut, terutama bagaimana sebaiknya pemakaian RTMS
kepada pasien depresi jika digabungkan dengan antidepresan dan ECT. Sebab, hingga kini belum ada data yang
konsisten karena tak ada panduan pelaksanaannya dan keterbatasan penelitian yang dilakukan. Selain mengikuti
berbagai terapi itu, penderita dianjurkan melakukan aktivitas positif, menetapkan target harian yang ringan dan dapat
dicapai untuk melakukan aktivitas menyenangkan, merencanakan hal-hal yang akan dilakukan. Cobalah berkumpul
bersama orang lain atau anggota keluarga untuk berbagi rasa. Keterlibatan keluarga penting dalam penyembuhan
pasien. Karena itu, keluarga perlu mendapat informasi tentang perjalanan penyakit, hasil diagnosis, dan rencana terapi.
Keluarga diharapkan bisa ikut membantu mengenali keluhan fisik akibat depresi, mengawasi kondisi pasien, dan
memotivasinya untuk sembuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar